Pages

[Cerpen] My (never) Ending Road

Teringat di jalan itu, di sebuah Pemberhentian Busway,
Sebuah lagu terdengar tak jauh dari sebuah toko Handphone seberang jalan.


You’re beautiful
You’re beautiful
You’re beautiful, it’s true
I saw your face in a crowded place
And I don’t know what to do
cause I’ll never be with you.


Hari itu semua nya nampak “perfect”.
Cuaca sore yang indah,
Tidak mendung namun juga tidak panas,
Tiba tiba detak jam terasa lambat,
Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan,
Aku melirik ke sebelah Adik ku,


“Mana Kak, kok belum muncul sih orangnya?”
Raut wajah adikku menunjukan gejala ketidaksabaran.
Ya, memang kami belum lama berdiri menunggu disini,
Tapi rupa nya ia tak kalah penasaran dengan ku.


‘Kak, tampang nya kayak siapa, Dimas Beck, David Beckham, atau Mandragate?”
Tanya nya usil, memecah kegalauan hati ku.
“Sejujurnya Dik, aku juga belum pernah bertatap langsung dengannya”


“What? Huh si Kakak, tahu dech, yang Aisah Wannabe, nyari nya tipe Fahri ya, jadi ber.. Apa tu Kak, namanya..”
Ia tampak mengingat sesuatu. Keningnya berkerut tanda berfikir keras.
Istilah itu Kak, yang di Ayat Ayat Cinta”


“Ta’aruf Neng..!”
Tebak ku.


“Ehehe iya, seratus” “Kembaliannya buat Kakak aja”


Aku mencoba tersenyum. Tapi yang ada hanya seringaian aneh.
Ya, jujur saja, dalam kondisi normal, pasti sudah kujitak Ocha,
Adikku semata wayang. Yang selalu usil dan asbun (alias asal bunyi).


Satu persatu Busway berdatangan dan pergi kembali.
Namun wajah mereka belum ku lihat. Tepatnya wajah nya, yang untuk pertama kali aku lihat.


Kuhitung hampir empat Bus yang sudah datang. Namun tetap, nihil.


“Mungkin, ini kali Kak, feeling Ocha sih yang ini..”

Dan ucapan adikku terkabul. Wajah saudari ku Zainab yang muncul pertama kali. Disusul suaminya, dan Balita kecil menggemaskan dalam gendonggan sang Ayah.
Maryam namanya, mengenakkan kerudung mungil berwarna Pink.
Segera ku hampiri mereka. Dengan senyum sumringah kami segera melemparkan cerita. Zainab dan suaminya berebutan bercerita mengenai keterlambatan mereka, Busway yang mereka naiki penuh, sehingga beberapa kali mereka “ditolak”, sampai akhirnya, setengah jam molor dari waktu yang diperkirakan.


But, it’s okey. Yang penting mereka sampai dengan selamat, fikir ku.
Dan aku sibuk mencari sesosok wajah yang ditunggu.
Sampai munculah diantara kerumunan orang, seorang pemuda sederhana,
Lelaki dengan senyum yang kulihat di foto nya.
Tak berubah, sama antara foto dan raut wajah aslinya.
Namun aku tak berani menatap nya lebih lama.


Adzan Mahgrib tepat berkumandang.
Hari itu sepuluh hari menjelang Idul Fitri,
Maka kami pun berbuka dengan segelas Aqua yang di bawa dalam kantong plastik Adikku.


Ia mengambil Aqua yang disodorkan Ayah nya Maryam.
Sambil meneguk Aqua, ia berjongkok.
Sesuatu yang tak lazim menurut pandangan beberapa orang.
Namun itu kesan pertama yang kutangkap.
Kurekam jelas dalam memori hati ku.
Lelaki sederhana itu, untuk pertama kali nya
Allah mempertemukan kita.


Entah saat itu apa yang ada dalam hati dan benak mu,
Namun dalam denting hati ku, irama nya sungguh tak beraturan,
Semuanya jadi terasa lambat.
Dan anehnya aku tak mampu tersenyum lebar, atau pula menggoda Maryam yang pipi nya mulai gembil.
Aku jadi lebih pendiam.


Adikku sibuk menggoda ku, ia menyikut kecil lengan ku.


Tuh, Fahri nya dah datang, kok gak disuguhi Teh Anget, malah Air Putih doang, Aqua kecil lagi..” Candanya.
Ingin kucubit Adikku yang rese itu, namun sebisa mungkin aku tahan
“Awas ya Dik, nanti kita perhitungan di rumah” Balas ku pelan, takut kedengaran Mr.Fahri “(Astaga aku sudah kena “virus” Adikku ikut ikutan memanggilnya begitu).


“Sip Kak, bawa Kalkulator ya Buat Hitung Hitungannya”
Cengir nya tanpa bersalah.



Dan senja menjelang malam itu, kami melangkah dalam sebuah lantunan Doa dan Harap.
Hanya pada-Nya , Sang Pemilik dan Pengatur segala Peristiwa.

No comments:

Post a Comment